11 April 2012

jejak pangan dan jejakmu


Beberapa waktu yang lalu, diselenggarakan Book Fair di Kota Semarang, ada buku terbitan Kompas dengan judul Jejak Pangan (Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan) karya Pak Andreas Maryoto. Menurutku buku ini Gizi banget, di dalamnya bisa kita temukan cerita ilmiah, legenda rakyat  seputar Gizi dan pangan. Bisa diruntut cerita seputa Gizi dari zaman kerajaan Mataram, Armada Cheng Ho, Suku Badui, Strategi menghadapi krisis pangan ala Pak Sukarno dan Suharto, Manajemen makanan selama perang hingga penyelenggaraanmakanan saat Olimpiade disertai isu-isu hangat seperti pangan Nutrasetikal, krisis Global dan inovasi pangan lokal untuk masa depan. Nah, komplit banget kan ? #fyi : harga buku ini di book fair Rp 5000 perak.

 

Salah satu sub bab di buku ini yang mengangkat eksistensi pangan lokal di tengah Globalisasi.

Makanan Desa, Makanan Kita Sesungguhnya

Ketika melihat berbagai hidangan di meja makan, kita sangat jarang mengetahui asal usul dan riwayatnya. Globalisasi pangan telah menjadikan hidangan yang ada di meja makan terasa asing dan makin jauh asal usul bahan bakunya. “ Penjajahan” lidah telah merasuk hingga kita tidak memahami kisah komoditas yang disantap.
                Apabila mau kembali ke desa, kita akan menemukan kuliner sesungguhnya, termasuk kehadiran menu yang mungkin terasa aneh di meja makan, semisal belalang goreng ! Itulah kita sebenarnya, we are what we eat !
                Salah satu contoh adalah berbagai makanan yang ada di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Kisah makanan yang disajikan di meja masih mudah didapat. Jika datang ke warung atau warga di daerah itu, kita bisa mendengar asal usul makanan hingga kisah-kisah berhubungan dengan makanan tersebut.
                Semisal keluarga Tamzil, warga Ponjong saat menghidangkan makanan lengkap untuk tamunya yang menginap dirimahnya. Meja makan penuh dengan berbagai makanan dan hampir semuanya berbahan baku lokal, nyaris tidak ada yang didatangkan dari tempat lain. Kalau toh ada yang harus didatangkan dari luar adalah garam.
                Adapun lauk yang dihidangkan sangat mungkin mengagetkan bagi sebagian orang: belalang ! Hidangan belalang memang mudah ditemukan di kebun warga. Kebun yang umumnya ditanami pohon jati – penduduk setempat menyebutnya sebagai belalang kayu. Sangat mungkin keberadaan belalang gorengini terkait dengan minimnya sumber protein hewani di daerah tersebut ketika terjadi kekeringan beberapa tahun yang lalu.
                Tempe yang ada di meja makan di keluaraga Tamzil itu,  misalnya bila diamati lebih lanjut akan kita temui banyak hal yang unik. Umumnya tempe dibungkus dengan daun pisang dan daun jati. Di kota, tempe malah dibungkus dengan plastik. Tempe di Kecamatan Ponjong umunya dibungkus dengan daun pace dan daun jati. Tali yang digunakan berasal dari pelepah pohon pisang. Pelacakan terhadap pembungkus ini menemukan kenyataan bahwa di wilayah itu memang hanya daun jati dan daun pace yang banyak ditemukan. Daun ini mungkin paling murah harganya dibandingkan dengan menggunakan daun pisang.
                Saat musim kemarau,mungkin hanya kedua jenis daun ini yang masih ada, terutama daun jati. Variasi pembungkus makanan tempe ini sangat menarik; dan sangat boleh jadi bisa menjadi bahan penelitian dalam proses fermentasi tempe.
                “Tidak ada yang aneh dari makanan-makanan lokal tersebut. Akan tetapi, karena selama ini sudah terjauhkan dari makanan-makanan dengan sumber lokal, maka menu hidangan dari pedesan semacam itu menjadi “aneh” bagi banyak kalangan, terutama di wilayah perkotaan”.  Apalagi kalau masuk supermarket, kita makin dijauhkan dari kelokalan pangan kita. Kita mudah sekali terjebak pada kemolekan globalisasi hingga sumber lokal tidak tergali. Hidangan seperti itulah yang seharusnya menjadi contoh ketahanan pangan di tingkat lokal. Mereka yang hidup di Ponjong relatif tidak tergantung pada pangan dari luar sehingga mereka memiliki kemandirian dalam pasokan pangan mereka.
                Penduduk Ponjong mengandalkan sumber pangan lokal, seperti untuk pembungkus tempe tidak menggunakan plastik. Talinya pun berasal dari pelepah pohon pisang kering. Menurut pak Budi ahli teknologi pangan “ Kekayaan kita itu perlu diangkat ketika isu soal kekurangan energi dan pemanasan global tengah diangkat ke permukaan. Kalau mereka makan mie instan yang berbahan baku terigu, bisa dibayangkan energi, bahan bakar yang dikeluarkan untuk membawa terigu ataupun gandum dari luar negeri yang berpotensi menambah pemanasan global. Beliau mengutip konsep food miles yang menghitung berapa jauh perjalanan makanan yang dihidangkan di meja makan dari sejak tempat asal bahan bakunya. Dalam rantai itu dapat dihitung berapa banyak energi yang dikeluarkan, sumber alam yang terkuras dan pencemaran yang mungkin terjadi.
                Pangan lokal yang dikonsumsi penduduk Ponjong akan mereduksi pemborosan energi dan mengurangi pencemaran. Mereka terbiasa menggunakan kayu bakar yang berasal dari kayu bungur yang ada disekitar mereka.
                Tidak ada yang aneh terkait dengan keberadaan belalang (bahan pangan lokal) dalam hidangan mereka. Keberadaan makanan jenis ini malah harus diteliti, karena bila tidak “menguntungkan” belalang goreng seharusnya sudah musnah sejak lama.
                Kemolekan globalisasi telah mengaburkan kekayaan kuliner kita. Globalisasi pangan pula telah menjauhkan hidangan di meja makan dari asal usulnya. Selama ini kita berusaha sok akrab dengan makanan yang ada di meja makan meski kita tidak pernah mengetahui asal usul mie instan, pizza, mentega, dan makanan cepat saji lainnya. Makanan itu sebenarnya adalah makanan asing di lidah yang “dipaksakan” diterima dengan alasan gengsi.
                “Menu kita sehari-hari sesungguhnya adalah berbagai jenis makanan yang sekarang masih bisa ditemukan di desa-desa”.

Menurut saya buku ini menarik untuk dibaca, terutama buat teman-teman yang konsen di bidang Gizi, khususnya mahasiswa Gizi J, Beberapa kajian ilmu di bidang Gizi dipercantik dengan cerita mengenai sejarah bangsa dan tokoh terkenal.  Ada ide-ide penelitian yang disampaikan oleh penulis secara tersirat dalam 200 halaman buku ini. Melalui buku ini kita temukan cara menikmati belajar Gizi dari sisi yang berbeda  dan motivasi untuk membawa konsep-konsep Gizi ke masyarakat. 

Selamat membaca, Selamat menulis, Selamat Berkarya !

Tidak ada komentar: